A.Latar Belakang
Kegiatan belajar-mengajar merupakan inti dan pelaksanaan kurikulum
Baik-buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh mutu
kegiatan belajar-mengajar. Bila mutu lulusanya bagus dapat diproduksi
bagus mutu kegiatan belajar-mengajarnya juga bagus atau sebaliknya, bila
mutu kegiatan belajar-mengajarnya bagus, maka mutu lulusannya juga akan
bagus.
Guru Sekolah Dasar (SD) selama ini disiapkan untuk mengajar siswa-siswi
yang ada di SD. Pada umumnya para siswa di SD adalah anak-anak normal
yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan yang signifikan (berarti) baik
dalam segi fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris.
Mereka pada umumnya memiliki kondisi fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan/atau sensoris yang relatif homogen.
Seiring dengan kemajuan jaman, reformasi kelembagaan yang melayani anak
berkelainan banyak dilakukan. Pada masa-masa sebelumya bentuk
kelembagaan yang melayani pendidikan bagi anak berkelainan masih banyak
yang bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada umumnya.
Tetapi memasuki akhir milenium dua, misi dan visi kelembagaan sudah
cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu Bentuk dimana anak luar biasa
atau para penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan
masyarakat pada umumnya. Muncul berbagai istilah yang berhubungan dengan
bentuk kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi
mereka, Seperti normalisasi, dan integrasi, mainstreaming, least
restrictive environment, institusionalisasi, dan ink/usi. Dewasa ini,
inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak
berkelainan yang dipandang ideal untuk dilaksanakan sesuai dengan
Pernyataan Salamanca.
Di Sekolah inklusif para siswa memilik kemampuan yang heterogen, karena
siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan
yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual,
sosial, emosional, dan sensoris neurologis.
Mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen berbeda dengan
mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan homogen. Para guru SD, pada
umumnya merasa kurang mampu mengajar anak yang memiliki kemampuan
heterogen di kelas inklusif karena ketika mereka sekolah/kuliah di
lembaga pendidikan guru baik SPG, PGSD, LPTK lainnya tidak dibekali
berbagai pengetahuan dan keterampilan agar mampu mengajar kelas
inklusif.
B.Makna Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi merupakan ideologi atau cita-cita yang ingin kita
raih. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusi itu
sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan
terjadi keragaman dalam implementasinya, antara negara yang satu dengan
yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan
antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya.
Dengan begitu berarti pendidikan inklusi adalah konsep pendidikan yang
merangkul semua anak tanpa kecuali. Inklusi berasumsi bahwa hidup dan
belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan
keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak?anak yang diberi label
sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Inklusi dapat dipandang sebagai
suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua
individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan
masyarakat, dan mengurangi ekslusi baik dalam maupun dari kegiatan
pendidikan.
Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur
dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliputi semua anak yang
berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi
adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak (UNESCO,
2003).
Pendidikan inklusi berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang
sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam
setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan
pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem
pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusi
bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan
keragaman dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam
lingkungan belajar, dan pada suatu problem.
Pearpoint and Forest (1992) dalam Mudjito, (2005) menjelaskan nilai
penting yang melandasi suatu sekolah inklusi adalah penerimaan,
pemilikan, dan asumsi lain yang mendasari sekolah inklusi adalah, bahwa
mengajar yang baik adalah mengajar yang penuh gairah, yang mendorong
agar setiap anak dapat belajar, memberikan lingkungan yang sesuai,
dorongan, dan aktivitas yang bermakna. Sekolah inklusi mendasarkan
kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan
mengajar dan belajar yang baik.
Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusi adalah proses
pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa
memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.
C.Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami
perkembangan seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan kesadaran
masyarakat serta budaya masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan
pendidikan berkebutuhan khusus (children with special needs education),
yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan
inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan berarti
menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi
memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik
atau anak yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang
dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan
pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai
kebutuhan-kebutuhan khusus baik bersifat permanen maupun temporer.
Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang secara menetap dan terus
menerus ada dan tidak akan hilang misalnya ketunanetraan, ketunarunguan,
keterbelakangan mental, kelainan emosi, dan sosial. Kebutuhan temporer
kebutuhan yang bersifat sementara.
Sementara James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak
yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa
(anak berkekurangan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak
pernah sekolah, anak yang tidak teratur sekolah, anak yang drop out,
anak yang sakit?sakitan, anak pekerja usia muda, anak yatim piatu dan
anak jalanan. Dengan demikian dari penjelasan tersebut. maka anak luar
biasa merupakan salah satu dan anak yang dimaksud dengan anak
berkebutuhan khusus.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki
kebutuhan khusus secara sementara atau. permanen dan atau kecacatan
sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin
disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah
ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi politik dan bencana alam.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki
makna dan spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep anak luar
biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak
yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari
kecacatan tertentu (anak penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus
yang bersifat temporer. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering
diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa membaca, karena kekeliruan
guru mengajar, dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer.
Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi
yang tepat bisa menjadi permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang
temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?beda.
Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal
yaitu (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3)
kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh
karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan
kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama
dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun
demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal
juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan
(baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris
neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan
belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping
menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan
prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
SUMBER:
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0223106-114410/
http://friendlyschool.blogspot.com/2008/06/mengenal-pendidikan-inklusif-2.html
http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/id/6:1625/q/pengarang:%20Deden%20/offset/60/limit/15
http://sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar