Jumat, 30 September 2011

LANDASAN PENDIDIKAN INLUSIF

A. Landasan Yuridis 
1. UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 • Ayat (1) : “Setiap warga negara berhak mendapatpendidikan” • Ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”

2. UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional : Pasal 3 • Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 5 • Ayat (1) :Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu • Ayat (2) :Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus • Ayat (3) :Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus • Ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 • Ayat (1) : Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. • Ayat (2) : Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. 

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 48 • Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Pasal 49 • Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan

4. UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat 

5.Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju Pendidikan Inklusi”, a. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal. b. Menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun cultural. c. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. d. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya, sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan keunikan potensinya secara optimal e. Menjamin kebebasan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya untuk berinteraksi baik secara reaktif maupun proaktif dengan siapapun, kapanpun dan dilingkungan manapun, dengan meminimalkan hambatan f. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan, pelatihan, dan lainnya secara berkesinambungan. g. Menyusun rencana aksi (action plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya. 

6. PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,

7. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah. 

8. Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain menyebutkan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat”. Sedangkan Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah:Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. B. Landasan Empiris Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. D. Landasan Filosofis Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. D. Landasan Pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya. 



Sumber: http://inti.student.fkip.uns.ac.id/2009/01/15/pendidikan-inklusive/ http://www.bintangbangsaku.com/content/landasan-yuridis-pendidikan-inklusi http://www.plbjabar.com/?inc=tentang_kami&kat=landasan_yuridis.

Kamis, 29 September 2011

Pendidikan Inklusif di SD

A.Latar Belakang
Kegiatan belajar-mengajar merupakan inti dan pelaksanaan kurikulum Baik-buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh mutu kegiatan belajar-mengajar. Bila mutu lulusanya bagus dapat diproduksi bagus mutu kegiatan belajar-mengajarnya juga bagus atau sebaliknya, bila mutu kegiatan belajar-mengajarnya bagus, maka mutu lulusannya juga akan bagus.
Guru Sekolah Dasar (SD) selama ini disiapkan untuk mengajar siswa-siswi yang ada di SD. Pada umumnya para siswa di SD adalah anak-anak normal yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan yang signifikan (berarti) baik dalam segi fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris. Mereka pada umumnya memiliki kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris yang relatif homogen.
Seiring dengan kemajuan jaman, reformasi kelembagaan yang melayani anak berkelainan banyak dilakukan. Pada masa-masa sebelumya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi anak berkelainan masih banyak yang bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada umumnya. Tetapi memasuki akhir milenium dua, misi dan visi kelembagaan sudah cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu Bentuk dimana anak luar biasa atau para penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan masyarakat pada umumnya. Muncul berbagai istilah yang berhubungan dengan bentuk kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka, Seperti normalisasi, dan integrasi, mainstreaming, least restrictive environment, institusionalisasi, dan ink/usi. Dewasa ini, inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkelainan yang dipandang ideal untuk dilaksanakan sesuai dengan Pernyataan Salamanca.
Di Sekolah inklusif para siswa memilik kemampuan yang heterogen, karena siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan sensoris neurologis.
Mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen berbeda dengan mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan homogen. Para guru SD, pada umumnya merasa kurang mampu mengajar anak yang memiliki kemampuan heterogen di kelas inklusif karena ketika mereka sekolah/kuliah di lembaga pendidikan guru baik SPG, PGSD, LPTK lainnya tidak dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan agar mampu mengajar kelas inklusif.


B.Makna Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusi   merupakan ideologi atau cita-cita yang ingin kita raih. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusi   itu sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implementasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya.
Dengan begitu berarti pendidikan inklusi   adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali. Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak?anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi ekslusi baik dalam maupun dari kegiatan pendidikan.
Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliputi semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak (UNESCO, 2003).
Pendidikan inklusi berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusi   bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, dan pada suatu problem.
Pearpoint and Forest (1992) dalam Mudjito, (2005) menjelaskan nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusi adalah penerimaan, pemilikan, dan asumsi lain yang mendasari sekolah inklusi adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang penuh gairah, yang mendorong agar setiap anak dapat belajar, memberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan aktivitas yang bermakna. Sekolah inklusi   mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan mengajar dan belajar yang baik.
Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusi   adalah proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.


C.Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta budaya masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan pendidikan berkebutuhan khusus (children with special needs education), yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan berarti menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus baik bersifat permanen maupun temporer. Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang secara menetap dan terus menerus ada dan tidak akan hilang misalnya ketunanetraan, ketunarunguan, keterbelakangan mental, kelainan emosi, dan sosial. Kebutuhan temporer kebutuhan yang bersifat sementara.
Sementara James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa (anak berkekurangan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang tidak teratur sekolah, anak yang drop out, anak yang sakit?sakitan, anak pekerja usia muda, anak yatim piatu dan anak jalanan. Dengan demikian dari penjelasan tersebut. maka anak luar biasa merupakan salah satu dan anak yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara sementara atau. permanen dan atau kecacatan sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi politik dan bencana alam.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa membaca, karena kekeliruan guru mengajar, dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat bisa menjadi permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)

Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.



SUMBER:
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0223106-114410/
http://friendlyschool.blogspot.com/2008/06/mengenal-pendidikan-inklusif-2.html
http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/id/6:1625/q/pengarang:%20Deden%20/offset/60/limit/15
http://sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html